A.
PENDAHULUAN
Syariat Islam mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk individual,
maksudnya seorang hamba harus taat, tunduk dan patuh kepada Allah
SWT. Ketaatan dan ketundukan
tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah yang telah diatur dalam syariat Islam.
Syariat Islam juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam
bentuk muamalah sehingga terwujud kesalehan sosial. Selain itu syariat Islam
juga mengatur hubungan manusia dengan alam semesta untuk mewujudkan lingkungan
alam yang makmur dan lestari. Dalam hal ini Allah
SWT berfirman dalam Al Qur’an surat Al Ma’idah: 48:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 ú÷üt/ Ïm÷yt z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( wur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷Å° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmÏù tbqàÿÎ=tFørB ÇÍÑÈ
“Dan kami Telah
turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”. (QS. Al Ma’idah: 48)
B.
PEMBAHASAN
1.
Prinsip-Prinsip
Dalam Syariat Islam
Menurut bahasa, Syariat berarti jalan menuju tempat keluarnya air minum atau jalan
lurus yang harus diikuti. Menurut istilah syariat artinya hukum-hukum dan tata
aturan Allah SWT yang ditetapkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat
dalam dua bidang; dunia dan akhirat. Inilah dasar tegaknya semua syariat Islam,
tidak ada satu bidang keyakinan atau aktivitas insani atau sebuah kejadian alam
kecuali ada pembahasannya dalam syari’at Islam, dikaji dengan segala cara pandang
yang luas dan mendalam.[1]Syari’ah Islam mempunyai prinsip-prinsip yang secara
keseluruhan merupakan kekhususan (spesifikasi) yang membedakan dengan
peraturan-peraturan lainnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut ada lima, yaitu [2]:
a. Tidak Memberatkan
Hal ini berarti bahwa syariat Islam tidak membebani manusia dengan kewajiban di luar
kemampuannya, sehingga tidak berat untuk dilaksanakan. Firman Allah
SWT antara lain :
$tBur
@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4
“...
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. “ (QS. Al Hajj: 78).
ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$#
“... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu ... “. (QS. Al Baqarah : 185)
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pkön=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 $oY/u w !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY/u wur ö@ÏJóss? !$uZøn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã úïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ/u wur $oYù=ÏdJysè? $tB w sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# úïÍÏÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa):”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika
kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada
kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum
kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup
kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkau-lah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS.
Al Baqarah: 286).
Ayat-ayat yang bersifat umum tersebut telah dijadikan pokok dan dasar
syariat. Berdasarkan ayat-ayat yang demikian itu, diadakan rukhshah, yakni
aturan-aturan yang meringankan agar jangan menempatkan orang Islam dalam
keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalan Al Qur’an disebutkan :
1). Keringanan
berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan :
`yJsù c%x. Nä3ZÏB $³ÒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 4
“... Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain … (QS. Al Baqarah: 184).
2). Keringanan
bertayamum bagi orang yang tidak boleh menggunakan air :
bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4 $tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@ ÇÏÈ
“...dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).
3). Keringanan membolehkan memakan bangkai atau makanan lainnya apabila dalam keadaan
terpaksa :
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
“Sesungguhnya
Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun Maha Penyayang” (QS. Al
Baqarah: 173).
b.
Menyedikitkan Beban
(Taqlil at Takalif)
Taklif secara bahasa berarti beban. Arti
etimologinya adalah menyedikitkan. Adapun secara istilah, yang dimaksud hukum
taklif adalah pesan/khithâb yang mengarah pada instruksi dan atau
pilihan terhadap perbuatan orang-orang mukallaf. Hukum ini dinamakan hukum
taklifi (hukum yang memaksa), karena hukum-hukum yang termasuk katagori ini
adalah hukum-hukum yang terdapat beban berat (masyaqqah), baik pesan
instruktif untuk melakukan sesuatu atau untuk meninggalkan sesuatu (الإيجاب و الندب والتحريم والكراهة), maupun pesan
bebas-pilihan (التخيير/ الإباحة). Pertanyaanya,
kenapa hukum “bebas-pilihan” (الإباحة)
juga dimasukkan ke dalam hukum taklifi? Padahal hukum ini tidak mengandung
unsur masyaqqah (beban berat)? Menanggapi pertanyaan ini, ulama ushul
berpandangan, hal ini dimasukkan karena faktor penyelarasan (min bâbi
at-taghlîb) belaka.[3]
Contoh hukum taklifi yang pertama (instruksi untuk berbuat; baik îjâb atau
nadb), seperti perintah shalat, puasa dan lain-lain:
(أقيموا الصلاة)، و(كتب عليكم الصيام)
Untuk
hukum taklifi yang kedua (instruksi untuk meninggalkan), contohnya: larangan
membunuh, larangan makan bangkai, darah dan daging babi, dll..
(ولا تقتلوا النفس التى حرم الله إلا بالحق)، و(حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير …)
Sedangkan
contoh hukum taklifi yang ketiga (bebas-pilihan): makan.
(يأيها الناس كلوا مما فى الأرض حلالا طيبا …)
Kemudian mari kita lihat QS. Al
Ma’idah:101:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n@ bÎ)ur (#qè=t«ó¡n@ $pk÷]tã tûüÏm ãA¨t\ã ãb#uäöà)ø9$# yö7è? öNä3s9 $xÿtã ª!$# $pk÷]tã 3 ª!$#ur îqàÿxî ÒOÎ=ym ÇÊÉÊÈ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al
Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu)
tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Maidah:
101).
Kandungan ayat tersebut menunjukkan bahwa hal-hal yang tidak disebutkan
dalam syari’at Islam tidak perlu dipertikaikan bagaimana ketentuan hukumnya,
hal itu merupakan rahmat Allah SWT untuk tidak memperbanyak beban kepada umat
manusia.
c. Berangsur-angsur Dalam Menetapkan Hukum
Pada awal ajaran Islam diturunkan,
Allah SWT belum menetapkan hukum secara tegas dan terperinci, karena
bangsa Arab pada waktu itu telah menggunakan adat kebiasaan mereka sebagai
peraturan dalam kehidupan. Pada saat itu adat
mereka ada yang baik dan dapat diteruskan, tetapi ada
pula yang membahayakan dan tidak layak untuk diteruskan. Oleh karena itu syari’ah secara berangsur-angsur menetapkan
hukum agar tidak mengejutkan bangsa yang baru mengenalnya, sehingga perubahan
itu tidak terlalu dirasakan yang akhirnya sampai pada ketentuan hukum syari’ah yang tegas. Sedangkan istilah tasyri’ tampaknya
lebih merupakan bentuk teknis dari proses pembentukan fikih atau
perundang-undangan. Secara etimologis, tasyri’ berarti pembuatan undang-undang
atau peraturan-peraturan (taqnin). Menurut Abdul Wahab Khalaf, tasyri’ adalah
pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan
orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta
peristiwa yang terjadi dikalangan mereka. Menurut batasan ini, tasyri’
merupakan produk ijtihad manusia dalam proses pembentukan perundang-undangan(fiqh).[4]
Tahapan-tahapan dalam menetapkan syari’ah Islam menempuh cara sebagai
berikut :
1). Berdiam diri, yakni tidak menetapkan hukum kepada sesuatu, karena buat
sementara masih perlu diperkenankan, yang kemudian akan diharamkan. Cara ini
dilakukan antara lain dalam masalah warisan. Islam tidak segera membatalkan
hukum warisan jahiliyah, tetapi akhirnya diganti dengan hukum warisan Islam dan
sekaligus membatalkan hukum warisan Jahiliyah tersebut.
2). Mengemukakan permasalahan secara mujmal, yakni dikemukakan secara
terperinci. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam hukum peperangan, Firman
Allah SWT :
tbÏé& tûïÏ%©#Ï9 cqè=tG»s)ã öNßg¯Rr'Î/ (#qßJÎ=àß 4 ¨bÎ)ur ©!$# 4n?tã óOÏdÎóÇtR íÏs)s9 ÇÌÒÈ
“Telah diizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah
dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,”
(QS. Al Hajj: 39)
3). Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, sebagaimana ditemui dalam
cara mengharamkan khamar (arak). Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang khamar
dan maisir (Judi), yang sudah menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat Arab
waktu itu. Firman Allah SWT :
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 tRqè=t«ó¡our #s$tB tbqà)ÏÿZã È@è% uqøÿyèø9$# 3 Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# ãNä3s9 ÏM»tFy$# öNà6¯=yès9 tbrã©3xÿtFs? ÇËÊÒÈ
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir,” (QS. Al Baqarah: 219)
Dengan ayat
tersebut, syari’ah belum menetapkan arak dan judi haram, tetapi dengan menyebut
dosanya lebih besar, ada kesan melarangnya.
Baru pada tahap berikutnya Allah mengharamkannya dengan perintah untuk
meninggalkannya. Firman Allah :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
“Hai orang-orang
yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al
Maidah: 90).
d. Memperhatikan kemaslahatan manusia dalam menetapkan hukum
Mashlahat berasal dari
kata ash shulh atau al ishlah yang berarti damai dan tenteram. Damai
berorientasi pada fisik sedangkan tenteram berorientasi pada psikis. Adapun
yang dimaksud mashlahat secara terminologi adalah :
جلب النفع و دفع الضرر عنهم
Perolehan manfaat dan penolakan
terhadap kesulitan[5]
Allah dalam menetapkan hukum selalu mempertimbangkan kemashlahatan hidup umat manusia. Oleh karena itu dalam proses
penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga aspek :
1). Hukum ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum tersebut.
2). Hukum ditetapkan hanya menurut kadar kebutuhan masyarakat.
3). Hukum hanya ditetapkan oleh lembaga pemerintah yang berhak menetapkan
hukum.
Dalam menetapkan hukum, Allah SWT
senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan mudharat
yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis dari pelaksanannya. Karena
itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan: “Allah membuat undang-undang syari’at
untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa ekses negatif (mudharat)
dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfaat).[6]
e. Keadilan yang merata
e. Keadilan yang merata
Menurut syariat Islam kedudukan semua orang adalah sama dihadapan Allah,
yang membedakan adalah tingkatan taqwa mereka. Oleh karena itu orang yang kaya
dengan orang yang miskin sama dihadapan Allah dalam hal pengadilannya. Hal ini
dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al Maidah: 8 :
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. úüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( wur öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 cÎ) ©!$# 7Î6yz $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
“Hai orang-orang
yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku
adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al
Maidah: 8)
2.
Prinsip-prinsip Dalam Fiqh
Fiqh dibangun atas lima dasar, yaitu:
1. الْأُمُور
بِمَقَاصِدِهَا
(Segala sesuatu tergantung pada niatnya).
Dasar
kaidah:
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآَخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا
Artinya: Barang
siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia
itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya
pahala akhirat.
إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya:
segala perbuatan tergantung pada niat.
Menurut As-Suyuthi,
kaidah fiqh ini masuk dalam berbagai persoalan fiqh; baik fiqh ibadah, maupun
mu'amalah.
· Contoh dalam fiqh
ibadah: Seseorang yang melakukan shalat dua raka'at misalnya, maka perbuatan shalat
tersebut tergantung pada niat di dalam hatinya; apakah untuk shalat fardhu;
atau sunnah; qashar atau penuh, sunnah tertentu atau sunnah muthlak. Semua
tergantung pada niat yang ada di hati pelaku.
· Contoh dalam persoalan
mu'amalah: Seseorang yang mengarnbil barang temuan. Jika ia mengambil dengan
niat menyimpannya untuk dicarikan pemiliknya dan dikembalikan kepadanya, maka
berlaku `yad al-amanah' atau penguasaan karena kepercayaan. Sehingga,
jika terjadi kerusakan pada barang tersebut yang tidak ia sengaja, maka tidak
diminta menanggung kerusakan tersebut. Tetapi jika niat mengambilnya untuk
memiliki, maka yang berlaku adalah `yad adh-dhaman' atau penguasaan yang
harus ditanggung. Sehingga, ia berkewajiban untuk menanggung segala kerusakan
yang terjadi pada barang yang diambilnya, apapun sebab yang menimbulkan
kerusakan tersebut.
2.الْيَقِين
لَا يُزَال بِالشَّكِّ ( Keyakinan tidak bisa dihilangkan sebab keraguan)
Dasar
kaidah ini:
إن
الشيطان ليأتى أحدكم وهو فى صلاته فيأخذ بشعرة من دبره فيمدها فيرى أنه أحدث فلا
ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا[7]
Artinya: Sesungguhnya setan akan mendatangi salah satu kalian dalam sholatnya. Kemudian setan mengambil rambut dari
duburnya (musholli) dan memanjangkannya, sehingga ia melihat bahwa dirinya
berhadats. Maka janganlah berpaling, sampai mendengar suara atau menemukan
bau.(al Hadits)
Kaidah ini
berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur dengannya, yaitu
sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai
bentuk kontradiktifnya, akan tetapi ia hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan
atau asumsi yang kuat yang menyatakan sebaliknya.[8]
Contoh
dalam permasalahan ibadah:
· Apabila seseorang meyakini dirinya dalam keadaan suci,
kemudian muncul keraguan bahwa dirinya berhadats, maka ia dalam keadaan suci.
· Apabila seseorang ragu dalam sholatnya, apakah
mencapai tiga atau empat rakaat, maka tiga rakaat yang dianggap karena lebih
diyakini
Contoh
dalam permasalahan muamalah:
· Seorang penjual mobil menyatakan kepada pembeli bahwa
mobil yang dijualnya dalam kondisi yang baik, kemudian si pembeli membelinya. Di lain hari pembeli komplain dan menyatakan bahwa
terdapat cacat pada mobil tersebut. Maka, ucapan yang dibenarkan adalah ucapan
si penjual.
3. الْمَشَقَّة
تَجْلِب التَّيْسِير (Segala kesulitan akan membawa kemudahan).
Dasar
kaidah:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ
Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Artinya: Rasulullah
SAW bersabda “Aku diutus dengan membawa agama yang mudah“ [9]
Contoh
dalam masalah ibadah:
· Seseorang yang tidak mampu melaksanakan sholat fardlu
dengan berdiri, maka ia diperbolehkan melakukannya dengan duduk. Jika tidak
bisa, maka boleh dengan tidur miring dan seterusnya.
· Jika tidak menemukan air untuk dipakai berwudlu’, atau
kesulitan menggunakan air sebab sakit, maka boleh mengganti wudhu dengan
tayammum.
Contoh
dalam muamalah:
· Jika seorang perempuan yang tengah melaksanakan
perjalanan, dan ia tidak menemukan wali untuk menikahkannya, maka ia boleh
menentukan orang laki-laki sebagai walinya.
4. الضَّرَر
يُزَال (
Kerusakan harus dihilangkan )
Dasar
kaidah:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
Artinya:
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi
قَوْله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ { لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ }
Artinya:
Tak berbahaya (baginya) dan tidak membahayakan (orang lain)
Contoh
dalam ibadah:
· Ketika seseorang ingin pergi ke masjid untuk
melaksanakan sholat jum’at, sementara di jalan ada perampokan dan dikhawatirkan
keselamatannya, maka diperbolehkan baginya untuk sholat di rumah.
Contoh
dalam muamalah:
· Seorang pembeli boleh melaksanakan khiyar sebab
ditemukannya cacat pada barang yang dijual
· Boleh bagi laki-laki maupun perempuan untuk merusak
pernikahan(bercerai) sebab adanya cacat
5. الْعَادَة
مُحَكَّمَة ( Kebiasaan dapat dijadikan hukum )
Dasar
kaidah:
خُذِ الْعَفْوَ
وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ
عَنِ
الْجَاهِلِينَ
Artinya:Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh(Q.S: al A’raf 199)
لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { مَا
رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ }
Artinya:
segala hal yang dipandang baik oleh orang muslim, maka disisi Allahpun baik
(al Hadits)
Contoh
dalam ibadah:
· Ketentuan minimal dan maksimalnya masa haid, nifas
bagi perempuan tergantung pada kebiasaan.
Contoh
dalam muamalah:
· Pembayaran makanan dilakukan setelah selesai makan.
· Penggunaan ATM dalam bertransaksi.
Lima prinsip diatas merupakan prinsip pokok bagi fiqh
baik ibadah maupun mu’amalah. Jika kita ambil garis besar dari prinsip diatas,
maka bisa kita fahami bahwa masing-masing fiqh ibadah maupun mu’amalah memiliki
prinsip dan karakteristik yang berbeda.
3. Prinsip-Prinsip Dalam Ushul Fiqh
Kaidah pertama
الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
“Ijtihad tidak
dibatalkan oleh ijtihad”
Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya
ijtihad yang kemudian , sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil
ijtihad terdahulu, namun untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan
adanya hukum hasil ijtihad yang baru.[10]
Yang demikian ini adalah karena :
1. Nilai ijtihad
adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari hasil ijtihad
pertama.
2. Apabila suatu
ketetapan hukum hasil ijihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain,
akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Dan tidak adanya kepastian
hukum ini akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan besar.
Berdasarkan kaidah ini, maka apabila
suatu pengadilan telah memutuskan hukum
terhadap suatu peristiwa, kemudian pada kesempatan lain ada peristiwa
yang sama, pengadilan tersebut memutuskan hukum yang lain, maka hasil keputusan
yang baru tidak merubah keputusan terdahulu, tetapi hanya berlaku pada
peristiwa yang baru.
Contoh :
Seorang hakim
berdasarkan ijtihad telah mengambil keputusan dengan menjatuhkan hukuman
penjara 10 tahun. Tetapi pada kesempatan yang lain dalam peristiwa yang sama
dia mengambil keputusan dengan menjatuhkan hukuman kurang dari 10 tahun. Maka
dalam hal ini keputusan yang baru tidak merusak keputusan ynag terdahulu,
artinya pelaku yang pertama tetap dihukum 10 tahun, dan pelaku yang kedua tetap dihukum kurang
dari 10 tahun. Contoh lain :
1. Seseorang shalat
dengan menghadap suatu arah yang dianggap kiblat, kemudian ketika masuk waktu shalat
berikutnya berubah anggapannya tentang kiblat, maka dia harus menghadap arah
yang dianggapnya kiblat dan tidak wajib mengqadha shalatnya yang pertama.
2. Seseorang yang
ijtihadnya telah menentukan sucinya salah satu dari bejana kemudian
mengunakannya dan meninggalkannya, kemudian berubah anggapannya, maka tidak
boleh melakukan seperti anggapan yang kedua, tetapi harus tayamum.
Kaidah Kedua
اِذَااجْتَمَعَ
االْحَلَا لُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَا مُ
“Apabila berkumpul antara yang
halal dan yang haram, dimenangkan yang haram”.
Segolongan ulama mendasarkan kaidah ini pada
suatu hadist :
مَاااجْتَمَعَ
عَلَيْهِ الْحَلَا لُ وَالْحَرَامُ اِلَّاغَلَبَ الْحَرَامُ قَالَ الحَافِظُ
اَبُوْالْفَضْلِ الِعرَاقِى : لَااَصْلَ لَهُ
“Manakala berkumpul yang halal dengn haram,
maka dimenangkan yang haram”.
Walaupun
hadis diatas ini sanadnya dhaif, tetapi kaidahnya sendiri adalah benar sesuai
perintah agama, yaitu untuk selalu berhati-hati, yakni upaya preventif sebelum
terjadi pelanggaran yang lebih berat.[11]
Demikian
pula apabila dua dalil bertentangan yang satu mengharamkan, dan yang lain
menghalalkan, maka di dahulukan yang mengharamkan.
Contoh : ketika sahabat Utsman bin Affan RA
ditanya tentang hukumnya mengumpulkan dua orang wanita bersaudara, yang satu
merdeka, yang satu budak, yang keadaanya menurut ayat An-Nisa :
وَاَنْ
تَجْمَعُوْا بَىْنَ الْاُ خْتَىَىْنِ
“Dan haram mengumpulkan (dalam perkawinan)
dan dua orang wanita bersaudara.”
Pertentangan antara dua hadis, yaitu :
لَكَ مِنَ
الْحَائِضِ مَا فَوْقَ الْاِ زَارِ
“bagimu boleh berbuat sesuatu terhadap
istrimu yang sedang haid pada segala yang berada di atas kain pinggang”.
Dengan Hadis:
اِصْنَعُوْا
كُلَّ شَىْءٍ اِلاَّ االنِّكَاحِ
“perbuatlah segala sesuatu (terhadap istri
yang sedang haid) kecuali persetubuhan”.
Hadits
yang pertama menunjuk kepada hukum haram istri yang sedang haid berbuat sesuatu
antara pusar dan lutut.
Sedangkan
hadits yang kedua membolehkan berbuat segala sesuatu terhadap istri yang sedang
haid, kecuali bersetubuh.
اِذَاتَعَا
رَضَ اْمَا نِعُ وَالْمقَتَضِىْ قُدِّ مَ الْمَا نِعُ
“Apabla berlawanan antara yang mencegah dan
yang mengharuskan, didahulukan yang mencegah”.
Contoh : Orang yang junub kemudian mati
syahid, maka yang lebih sah ia tidak dimandikan. Bahkan apabila waktunya sempit
atau airnya kurang untuk kesempurnaan mandi, haram memandikannya.
Kaidah ketiga
الْإِىْثَارُبِالْقُرْبِ
مَكْرُوْهٌ وَهٌوفِى غَيْرِهَامَحْبُوْبٌ
“Mengutamakan orang lain dalam
uruan ibadah adalah makruh, dan dalam urusan selain ibadah adalah disenangi.”
Asal dari kaidah ini adalah firman Allah :
فَا سْتَبِقُ
الْخَيْرَاتِ.
“berlomba-lombalah kamu sekalian didalam
kebajikan.”
Kaidah keempat
اَلتَّابِعُ
تَابِعٌ
“Pengikut tu adalah mengikuti”
Artinya : Sesuatu yang mengikuti kepada yang
lain maka hukumnya adalah hukum yang diikuti.
Yang termasuk dalam kaidah ini adalah:
اَتَّابِعُ
لَايَفْرِدُبِالْحُكْمِ
“Pengikutnya hukumnya tidak tersendiri”
Hal ini karena hukum yang ada pada “yang
diikuti” berlaku juga untuk yang mengikuti.
Contoh: Jual beli binatang yang sedang
bunting, anak yang ada didalam kandungannya termasuk ke dalam akad itu.
اَتَّابِعُ
سَاقِطٌ بِسُقُوْطِ الْمَتْبُوْعِ
“pengikut menjadi gugur dengan gugurnya
yang diikuti”
Apabila hukum
yang diikuti gugur, maka gugur pula hukum yang mengikuti.
Contoh: Orang gila tidak berkewajiban shalat
fardhu, karena itu tidak disunnahkan shalat sunnah rawatib, kewajiban shalat
fardhu telah gugur, dengan sendirinya shalat sunnah menjadi gugur pula.
Dekat dengan kaidah diatas adalah :
اَلفَرْعُ
يَسْقُطُ اِذَاسَقَطَ الْاَصْلُ
“cabang menjadi jatuh apabila pokoknya jatuh”
Contoh : Apabila anak yang pandai dan baik itu
bebas (dari kesalahan), bebas pula penanggungannya; dan apabila dia jatuh
(dinyatakan bersalah), salah pula penanggungnya, sebab penanggung adalah cabang
dari yang ditanggung.
اَتَّابِعُ
لاَيَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوْعِ
“pengikut itu tidak mendahului yang
diikuti”.
Jadi yang diikuti harus lebih dahulu dari yang
mengikuti.
Contoh: makmum tidak boleh mendahului iman, baik
tempat berdirinya maupun gerakannya.
يُغْتَفَرُفِى
التَّوَابِعِ مَالَايُغْتَفَرُفِى غَيْرِهَا
“dapat dimaafkan dari hal-hal yang
mengikuti, tidak dimaafkan pada yang lainnya”.
Dengan kaidah
yang di atas;
يُغْتَفَرُفِى
شَيْءٍضِمْنًامَالَايُغْتَفَرُفى غَيْرِهَا
“sesuatu itu dapat dimaafkan karena terkait
yang lain, tidak dapat dimaafkan karena sengaja”.
Kadang-kadang dikatakan;
يُغْتَفَرُفِى
الثَّوَانِى مَالَايَغْتَفِرُفِى الْاَوَائِلِ
“dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak
demikian bagi yang lain.
Contoh: Orang yang sedang ihram tidak sah
nikah, tetapi sah rujuknya, karena adanya rujuk setelah adanya nikah.
Kaidah kelima
تَصَرَّفُ
الاِمَامِ عَلى الرَّعِيَّةِ منُوْطٌ بِالمَصْلَحَةِ
“Tindakan imam terhadap rakyat
harus dihubungkan dengan kemaslahatan”.
Tindakan
dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin/penguasa harus sejalan dengan
kepentingan umum bukan untuk golongan atau diri sendiri. Penguasa adalah pengayom
dan pengemban kesengsaraan umat.[12]
Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Syafi’i :
مَنْزِلَةِ
الْاِمَامِ مِنَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kedudukan imam terhadap rakyat adalah
seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.
Kaidah keenam
اَلْحُدُوْدُ
تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
“Hukuman-hukuman itu gugur karena
syubhat”
Suatu
kasus yang belum bisa dibuktikan secara faktual sebagai suatu tindak
pelanggaran, tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk memvonis
pelaku tindak kriminalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan bukti-bukti
obyektif meyakinkan.
Kaidah
ini berasal dari sabda Nabi :
اٍدْرَاؤُاالْحُدُوْدِبِالشُّبُهَاتِ
“hindarkanlah hukuman-hukuman karena adanya
syubhat”.
contoh: mengambil kendaraan ditempat
perparkiran, karena cat dan merk sama, ternyata bukan.
اَلْكَفَّارَةُ
تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
“kewajiban membayar kafarat gugur karena
adanya syubhat”.
Contoh : orang melakukan persetubuhan di bulan
Ramadlan karena lupa, tidak wajib membayar kafarat.
Kaidah ketujuh
الْحَرِيْمُ
لَهُ حُكْمُ مَا هُوَحَرِيْمٌ لَهُ
“yang mengelilngi larangan hukumnya sama
dengan yang dikelilingi”.
Dasar dari kaidah ini ialah hadis Nabi :
اَلْحَلَالُ
بَيّنٌ وَالْحَرَامُ بَيْنَ وَبَيْنَهُمَااُمُوْرٌمُشْتَبِهَاتٌلاَيَعْلَمَهُنَّ
كَثِيْرٌمِنَ النَّاسِ.فَمَنِ اتَّقَي الشُّبُهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَءَلِدِيْنِهِ
وَعِرْضِهِ
وَمَنْ وَقَعَ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَارَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ
الْحِمَى يَوْشِكُ يَرْتَعَ فِيْهِ.
“Yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan
diantara keduanya ada masalah-masalah mutsyabihat( yang tidak jelas hukumnya),
yang kebanyakan orang tidak mengetahui hukumnya. Maka barangsiapa yang menjaga
diri dari syubhat, berarti ia halal membersihkan agama dan dirinya;dan barang
siapa yang jatuh kepada keharaman, seperti seorang penggembala yang mengembala
disekitar pagar dan larangan, dikhawatirkan akan melanggar (masuk) ke dalam
pagar”.(al Hadits)
Kaidah Kedelapan
اِذَاجْتَمَعَ
اَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ لَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْدُهُمَادَخَلَ فِى
الْاخِرِغَا لِبًا
“Apabila berkumpul dua perkara satu jenis,
dan tidak berbeda maksud dari keduanya, maka menurut biasanya yang satu masuk
kepada yang lain”.
Contoh : Apabila orang hadas kecil dan hadas
besar (junub), maka cukup dengan bersuci saja, seperti kalau orang junub maka
mandi.
Kaidah Kesembilan
اَلْخُرُوْجَ
مِنَ الخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّ
“keluar dari khilaf itu diutamakan”.
Maksud
dari kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum
halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dasar kaidah ini ialah sabda Nabi SAW :
فَمَنِ اتَّقَى
الشُّبُهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَأَلِدِيْنِهِ
“Maka
barang siapa yang menjaga diri dari syubhat (tidak jelas hukumnya), maka ia
mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.
Maksud kaidah
ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau
bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Kaidah Kesepuluh
الر ضا با لشئ
رضا بما يتولد منه
“Rela terhadap
sesuatu adalah (juga) rela terhadap apa yang timbul dari sesuatu itu”
Searti dengan kaidah ini ialah kaidah:
المتولد من ما
ذ ون فيه لا اثرله
“Yang timbul dari sesuatu
yang telah diizinkan (diterima) tidak ada pengaruh baginya”.
Artinya
apabila seseorang telah rela dan menerima sesuatu, maka ia harus menerima
segala rentetan persoalan akibat dari sesuatu yang telah diterima. Yang berarti
menerima segala resiko akibat penerimaannya.
Contoh:Orang membeli barang yang sudah cacat,
dia harus rela terhadap semua keadaan akibat dari cacat itu. Misalnya: cacatnya
berkembang lebih besar. Demikian pula membeli binatang yang sakit, dia harus
menerima semua yang terjadi akibat dari sakitnya binatang tersebut.
Kaidah Kesebelas
ما كا ن اكثر فعلا كا ن اكثر فضلا
“Apa yang lebih banyak
perbuatannya, tentu lebih banyak keutamaannya”.
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Nabi SAW
kepada Aisyah RA:
اجرك على قد ر نصبك (رواه مسلم)
“Pahalamu adalah Berdasarkan kadar usahamu”.
Sesuai dengan hadits yang menjadi
dasar kaidah, maka dengan sendirinya yang dimaksud oleh kaidah ialah perbuatan
kebaikan, sehingga makin banyak dipebuat, makin tambah keutamaannya.
Contoh: Shalat witir dengan cara diputus lebih
utama dibanding dengan secara disambung, sebab dengan diputus akan tambah niat,
takbir dan salam.
Merupakan pengecualian dari kaidah
ini ialah beberapa perbuatan, diantaranya ialah:
Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi
syarat-syaratnya, lebih baik dari pada shalat dengan tidak qashar.
Kaidah Kedua Belas
الفر ض افضل من
النفل
“Fardhu
itu lebih utama daripada sunnat”
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Rasulullah SAW
dalam salah satu hadits beliau:
من تقر ب فيه
بخصلة من خصا ل الخير كا ن كمن اد ى فريضة فيما سواه ومن ادى فريضة فيه كا ن كمن
ادى سبعين فريضة فيما سواه
“Barangsiapa mendekatkan diri
(ibadah) kepada Allah dalam bulan Ramadhan dengan salah satu perbuatan kebaikan
(ibadah sunnah), maka dia sepertulan
menunaikan ibadah fardhu diluar bulan Ramadhan, dan barangsiapa
melakukan satu ibadah fardhu dalam bulan Ramadhan, maka dia seperti menunaikan
70 ibadah fardhu diselain bulan Ramadhan.”(al Hadits)
Dalam Hadits ini Nabi telah
memperbandingkan antara sunnah dalam bulan Ramadhan dengan 70 fardlu di luar
Ramadhan, semua ini memberi pengertian bahwa fardhu itu lebih utama daripada
sunnat dengan 70 derajat/tingkat.[13]
Kaidah Ketiga belas
الواجب لا يتر ك الا لوا جب
“Sesuatu yang wajib tidak boleh
ditinggalkan kecuali karena sesuatu yang wajib”
Jadi dari kaidah ini dapat
ditegaskan, bahwa sesuatu yang telah diwajibkan, tidak boleh ditinggalkan
kecuali ada sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu
kewajiban yang mengharuskan untuk meninggalkan.
Contoh: Memotong tangan pencuri,
seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram, sebab memotong/melukai adalah
tindak pidana haram.
Kaidah Keempat Belas
ما ثبث با لشرع مقد م على ما وجب با
لشرط
“Apa yang telah tetap menurut
syara’, didahulukan daripada apa yang wajib menurut syarat”.
Ketetapan yang berasal dari syara’
harus didahulukan pengamalannya daripada ketetapan yang timbul dari
syarat-syarat yang dibuat oleh manusia, sehingga karenanya tidak boleh
bernadzar dengan sesuatu yang wajib, seperti nadzar berpuasa Ramadhan, atau
nadzar shalat fardlu dan sebagainya.
Demikian pula apabila seorang suami
berkata pada istrinya: “Saya thalak kamu dan kepadamu akan saya beri uang Rp.
10.000,- asal saya masih ada hak untuk rujuk kepadamu”.
Perkataan memberi uang Rp. 10.000,-
sebagai syarat untuk rujuk adalah gugur, sebab pada hakikatnya syara’ telah
menetapkan akan haknya, yaitu rujuk.
Kaidah Kelima Belas
ما حرم استعما له حرم ا تخا ذ ه
“Apa yang haram menggunakannya,
haram pula memperolehnya”
Dasar kaidah ini ialah Sabda Nabi saw.
ومنوقع فى
الشبها توقع فى الحرام . كا لرا عى يرعى حول الحما يوشك ان ير تع فيه (متفق عليه)
“Barangsiapa jauh pada barang
syubhat, jauh pada haram, seperti pengembala yang mengembalakan disekitar
larangan dikhawatirkan akan masuk pada larangan”
Maka oleh karena itu orang
diharamkan menyimpan alat/sarana kemaksiatan. Menyimpan wadah/bejana terbuat
dari bahan emas atau perak. Sutra dan emas bagi laki-laki. Sebab larangan
menyimpan barang-barang tersebut karena boleh jadi akan menggunakannya. Demikian
juga dilarang memelihara anjing, selain anjing untuk menjaga keamanan dan
berburu.
Kaidah Keenam Belas
ما حرم اخذ ه حرم اعطا ؤه
“Sesuatu yang haram diambilnya, diharamkan pula
memberikannya”
Dasar kaidah ini adalah Firman Allah:
ولا تعا ونوا على الا ثم والعد وان .
(الما ئدة:3)
“jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan
permusuhan”(Q.S.al Maidah:3)
Jadi
artinya apabila dibolehkan memberikannya, maka berarti menolong dan mendorong
untuk mengambilnya, sehingga keduanya menjadi berserikat dalam dosa. Untuk itu
apabila diharamkan mengambilnya, maka
untuk memberikannya juga diharamkan.
Berdasarkan
kaidah ini maka diharamkan memberi uang riba suap, upah pelacur, pemberian pada
kahin dan sebagainya, sebagaimana diharamkan untuk mengambilnya.
Kaidah Ketujuh Belas
المشغول لا يشغل
“Sesuatu yang sedang dijadikan
obyek perbuatan tertentu, tidak boleh obyek perbuatan tertentu yang lain”.
Artinya apabila ada sesuatu yang
sudah menjadi obyek sesuatu aqad, tidak boleh dijadikan obyek aqad lain, karena
itu telah terikat dengan aqad yang pertama.
Contoh: Tidak boleh barang yang
sudah dijadikan jaminan sesuatu hutang, kemudian dijadikan jaminan hutang yang
lain.[14]
Kaidah Kedelapan Belas
من استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحر
ما نه
“Barangsiapa yang berusaha menyegerakan
sesuatu yang sebelum waktunya, menanggung akibat tidak mendapat sesuatu itu”.
Kaidah
ini lebih bersifat sebagai peringatan agar orang tidak tergesa-gesa melakukan
sesuatu perbuatan atau suatu tindakan
dalam rangka untuk mendapatkan haknya sebelum waktunya. Sebab akibatnya dapat
merupakan kegagalan.
Kaidah Kesembilan Belas
النفل اوسع من الفرض
“Sunnah itu telah longgar dari pada
fardlu”
Suatu
perbuatan yang disyariatkan sebagai perbuatan sunnah, pelaksanaannya lebih
longgar daripada perbuatan yang disyari’atkan sebagai perbuatan yang wajib.
Kaidah Kedua puluh
الو لا ية الخا
صة اقوى من الولا يةالعا مة
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat daripada kekuasaan
yang umum”
Suatu benda atau persoalan yang
berada dibawah suatu kekuasaan, maka pemegang kekuasaan yang khusus terhadap
benda dan persoalan tersebut, kedudukan dan wewenangnya lebih kuat daripada
penguasa umum, sehingga penguasa umum tidak dapat bertindak langsung terhadap
benda atau persoalan yang ada penguasa khususnya, selama penguasa khususnya ada
dan masih berfungsi.
Kaidah Kedua Puluh Satu
لاعبرة باالظن
البين خطؤه
“Tidak dipegangi sesuatu (hukum)
yang berdasarkan pada yang jelas salahnya”
Arti
zhon ialah persangkaan yang kuat, atau suatu pendapat yang lebih cenderung
kepada tetapnya atau benarnya daripada tidaknya.Jadi maksud kaidah ini ialah
bahwa suatu keputusan hukum yang didasarkan pada zhon, tetapi kemudian jelas
salahnya, maka hukum tersebut tidak berlaku atau batal.
Kaidah Kedua Puluh Dua
الميسور لايسقط
بالمعسور
“Yang mudah dilaksanakan, tidak
gugur/ditinggalkan karena adanya yang sukar dilaksanakan”
Dasar
kaidah ini ialah sabda Nabi saw:
اذا امرتتكم
بامر فأ توامنه ماستطعتم
“Apabila aku memerintahkan sesuatu,
maka kerjakanlah semampumu”
Setiap
amalan dalam syara’ harus dilaksanakan menurut daya kemampuan si mukallaf.
Berdasarkan
kaidah ini, ulama Syafi’iyyah menolak pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan
bahwa orang yang tidak dapat menutupi auratnya, shalatnya harus dengan duduk,
artinya karena tidak dapat menutup aurat, maka gugurlah kewajiban shalat dengan
berdiri.
Kaidah Kedua Puluh Tiga
ما لا يدرك كله
لا يترك كله
“Sesuatu yang tidak dicapai seluruhnya tidak boleh ditinggalkan
seluruhnya”
Misalnya :
1.
Orang yang tak sanggup mengajar dan
belajar seluruh ilmu, tidak pantas meninggalkan seluruhnya
2.
Orang yang tidak mampu berbuat
kebaikan yang banyak sedikit pun jadilah
3.
Jika tak sanggup shalat malam 10
raka’at, 4 raka’at pun cukup. Jadi, tidak layak ditinggalkan seluruhnya
Kaidah Kedua Puluh Empat
ما اوجب اعظم الامرين بخصوصه لا يوجب اهونها بعمومه
“Sesuatu yang mewajibkan kepada
yang lebih besar diantara dua hal secara khusus tidak mewajibkan kepada yang
lebih kecil diantara keduanya secara umum”
Menurut kaidah ini jika suatu
perbuatan secara khusus dikenakan tuntutan lebih berat dan secara umum juga
dikenakan tuntutan yang lebih ringan, maka jika tuntutan yang lebih berat sudah
dilaksanakan tuntutan yang ringan tidak perlu dijalankan lagi.
Misalnya :
1.
Seseorang mencuri harta milik orang
lain dengan membongkar pintu. Secara umum merusak pintu milik orang lain itu
harus menggantinya dan secara khusus mencuri itu dikenakan hukuman had potong
tangan. Tetapi karena dijalankan hukuman yang lebih berat diantara dua macam
dua hukuman tersebut, yakni potong tangan maka hukuman dengan mengganti
kerugian tersebut tidak perlu dijalankan
2.
Seorang laki-laki melakukan tindak
asusila perzinaan tidak perlu lagi dijatuhi hukuman ta’zir (pengasingan), yang
hukuman ini diancamkan kepada orang yang bercumbu-cumbuan, biarpun melakukan
zina tersebut secara umum diawali dengan perbuatan itu. Tetapi ia cukup
dijatuhi hukuman had, yang hukuman ini khusus bagi orang yang melakukan
perzinaan dan merupakan hukuman yang terberat dari dua macam hukuman tersebut
Kaidah
Kedua Puluh Lima
الحكم يدور مع
العلة وجودا و عدما
Hukum itu
berputar bersama illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum
Misalnya :
1.
Memasuki rumah atau memakai pakaian
milik orang lain tanpa izin yang memilikinya dilarang (haram), karena tidak ada
kerelaan dari pemiliknya. Tetapi kalau pemiliknya mengetahui dan terus memberi
kerelaannya maka hal itu diperbolehkannya
2.
Keharaman khamar itu lantaran
terdapat zat yang memabukkan. Tetapi kalau zat yang memabukkan itu sudah hilang
dengan sendirinya (misalnya khamar itu sudah berubah menjadi (cuka) maka
dihalalkannya
Para Ushuliyun membedakan
pengertian hikmah dengan illat. Hikmah ialah sesuatu yang masih berupa
perkiraan dan belum positif. Karena sifatnya demikian maka hikmah tidak dapat
untuk membina hukum dan mengikat kepada wujud dan tiadanya hukum. Sedangkan
illat ialah sesuatu yang sudah jelas dan positif yang dapat dipergunakan
membina hukum dan mengikat kepada wujud dan tiadanya hukum.
Misalnya :
1.
Mengqashar shalat bagi orang yang
dalam keadaan bepergian hikmahnya ialah memberi keringanan dan menolak
kesulitan. Hikmah semacam ini masih merupakan perkiraaan yang belum positif,
karena dapat diterapkan pada setiap orang yang berbeda situasi dan kondisinya.
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa shalat dengan sempurna di dalam
perjalanan itu tidak menyulitkan menurut situasi dan kondisi tertentu dan menurut
situasi dan kondisi yang lain akan terasa berat sekali. Sedang illat hukumnya
adalah bepergian. Ini merupakan perkara yang sudah jelas dan positif.
2.
Hak syuf’ah (hak beli yang
diutamakan) bagi anggota serikat atau tetangga hikmahnya ialah untuk menolak
gangguan (kemudharatan) bagi anggota serikat atau tetangga itu. Sebab tidak
mustahil sekiranya mereka tidak diutamakan hak belinya maka pekarangan yang
dijual tersebut dibeli oleh orang asing baginya, sehingga ketenangan terganggu.
Sedang ‘illat syuf’ah ialah karena keanggotaan serikat atau pertetanggaannya.
Dengan adanya
perbedaan yang jelas antara hikmah dan ‘illat para Ushuliyun melengkapkan
kaidah tersebut diatas dengan :
ان الاحكام الشرعية تد ور وجودا و عدما مع عللها لا مع حكمها
“Bahwa
hukum-hukum syari’at itu berputar antara ada dan ketiadaannya bersama dengan
‘illatnya bukan bersama dengan hikmahnya”
Misal :
1.
Barang siapa yang dalam bulan
Ramadhan berpergian dibolehkan tidak berpuasa, karena ‘illat dibolehkannya
adalah berpergian. Biarpun didalam berpergian itu ia tidak mengalami
kesulitan sedikitpun jika
seandainya berpuasa. Tetapi jika illatnya yang dijadikan membina hukum maka ia
tidak boleh meninggalkan puasa kalau tidak ada kesulitan sama sekali
2.
Seseorang yang menjadi anggota
serikat dengan orang lain atas tanah pekarangan atau menjadi tetangganya
mempunyai hak syuf’ah karena illatnya adalah keanggotaan serikat atau
pertetanggaannya. Meskipun ia tidak khawatir sedikitpun akan adanya gangguan
ketenangan dari pembeli yang masih asing baginya. Akan tetapi, kalau hikmahnya
yang dijadikan membina hukum dan meniadakan hukum, niscaya dengan tiadanya
kekhawatiran akan gangguan ketenangan seorang anggota serikat atau tetangga
tidak mempunyai hak syuf’ah
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, Abdul
Wahab, Searah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT
Raja Grafindo persada, 2002)
Khalil, Rasyad
Hasan, Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009)
Mubarok, Dr. Jaih, Sejarah dan Perkembangan
Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000)
Suyuthi as, Al-Imam
Jalaluddin Bin Abi Bakar, al-
Asybah Wan Nazhair fi Qawaid wa Furu’ Fiqh al Syafi’i, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1979)
---------------------------------------------------------, Al-Jami’ Al-Shoghir Fi Akhaditsi Al-Basyir Al-Nadzir, (Beirut :
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010)
Syatibi asy, Abu
Ishaq, Al-Muwafaqat, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1997), Jilid 2
Thariqy ath,
Abdullah bin Muhammad, Fiqih Darurat, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001)
Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Aziz
Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah,
(Jakarta: Amzah, 2009)
Yahya, Prof. Dr. Mukhtar dan Prof. Drs.
Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT al
Ma’arif, 1986)
Zuhaili az, Wahbah,
Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Libanon: Dar Al-Fikr, 2004), Jilid I
[2]
Dr. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 7
[3] Wahbah az Zuhaili, Ushul Al-Fiqh
Al-Islami, (Libanon: Dar Al-Fikr, 2004), Jilid I, hal. 40
[4] Abdul Wahab Khalaf, Searah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002) hal. 1
[5]
Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1997),
Jilid 2, hal. 2
[7]
Al-Imam Jalaluddin Bin Abi Bakar
As-Suyuthi, Al-Jami’ Al-Shoghir Fi Akhaditsi Al-Basyir Al-Nadzir, (Beirut
: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010). Hal. 345
[8]
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu
Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009) hal. 15
[9]
Al-Imam
Jalaluddin Bin Abi Bakar As-Suyuthi, al- Asybah Wan Nazhair fi Qawaid wa
Furu’ Fiqh al Syafi’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979),
hal. 8
[10]
Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT Al
Ma’arif, 1986), hal. 522
[11]
Ibid
[12]
Ibid. hal. 527
[13]
Ibid. hal. 538
[14]
Ibid. hal. 548
PERMAINAN ONLINE TERBESAR DI INDONESIA
ReplyDeleteWebsite paling ternama dan paling terpercaya di Asia ^^
Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat :)
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
- Adu Q
- Bandar Q
- Bandar Sakong
- Bandar Poker
- Poker
- Domino 99
- Capsa Susun
- BANDAR66 / ADU BALAK ( GAME TERBARU )
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang asli ^^
* Minimal Deposit : 20.000
* Minimal Withdraw : 20.000
* Deposit dan Withdraw 24 jam Non stop ( Kecuali Bank offline / gangguan )
* Bonus REFFERAL 15 % Seumur hidup tanpa syarat
* Bonus ROLLINGAN 0.3 % Dibagikan 5 hari 1 kali
* Proses Deposit & Withdraw PALING CEPAT
* Sistem keamanan Terbaru & Terjamin
* Poker Online Terpercaya
* Live chat yang Responsive
* Support lebih banyak bank LOKAL
Contact Us
Website SahabatQQ
WA 1 : +85515769793
WA 2 : +855972076840
LINE : SAHABATQQ
FACEBOOK : SahabatQQ Reborn
TWITTER : SahabatQQ
YM : cs2_sahabatqq@yahoo.com
Kami Siap Melayani anda 24 jam Nonstop
Daftar SahabatQQ
#sahabatQQ #winsahabatQQ #winsahabat #88sahabatQQ #88sahabat #windaftar
Did you hear there is a 12 word phrase you can communicate to your crush... that will induce intense emotions of love and instinctual attraction to you deep inside his chest?
ReplyDeleteBecause deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's instinct to love, please and protect you with all his heart...
12 Words Will Trigger A Man's Love Response
This instinct is so hardwired into a man's genetics that it will drive him to work better than ever before to love and admire you.
Matter of fact, triggering this powerful instinct is absolutely essential to getting the best possible relationship with your man that once you send your man one of the "Secret Signals"...
...You'll immediately find him expose his heart and mind to you in such a way he haven't expressed before and he will see you as the only woman in the world who has ever truly fascinated him.