Tuesday, December 27, 2016

PRINSIP-PRINSIP DALAM SYARI’AT FIQH DAN USHUL FIQH



A.      PENDAHULUAN
  Syariat Islam mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk individual, maksudnya seorang hamba harus taat, tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Ketaatan dan ketundukan tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah yang telah diatur dalam syariat Islam.
Syariat Islam juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah sehingga terwujud kesalehan sosial. Selain itu syariat Islam juga mengatur hubungan manusia dengan alam semesta untuk mewujudkan lingkungan alam yang makmur dan lestari. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an surat Al Maidah: 48:

  !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ  

 “Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”. (QS. Al Maidah: 48)

  B. PEMBAHASAN
 1.      Prinsip-Prinsip Dalam Syariat Islam
Menurut bahasa, Syariat berarti jalan menuju tempat keluarnya air minum atau jalan lurus yang harus diikuti. Menurut istilah syariat artinya hukum-hukum dan tata aturan Allah SWT yang ditetapkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat dalam dua bidang; dunia dan akhirat. Inilah dasar tegaknya semua syariat Islam, tidak ada satu bidang keyakinan atau aktivitas insani atau sebuah kejadian alam kecuali ada pembahasannya dalam syari’at Islam, dikaji dengan segala cara pandang yang luas dan mendalam.[1]Syari’ah Islam mempunyai prinsip-prinsip yang secara keseluruhan merupakan kekhususan (spesifikasi) yang membedakan dengan peraturan-peraturan lainnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut ada lima, yaitu [2]:
      a.       Tidak Memberatkan
Hal ini berarti bahwa syariat Islam tidak membebani manusia dengan kewajiban di luar kemampuannya, sehingga tidak berat untuk dilaksanakan. Firman Allah SWT antara lain :
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4
 “...  dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. “ (QS. Al Hajj: 78).
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
 “... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ... “. (QS. Al Baqarah : 185)

Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pköŽn=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 $oY­/u Ÿw !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZŠÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY­/u Ÿwur ö@ÏJóss? !$uZøŠn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ­/u Ÿwur $oYù=ÏdJysè? $tB Ÿw sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# šúï͍Ïÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ  


 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa):”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkau-lah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al Baqarah: 286).

Ayat-ayat yang bersifat umum tersebut telah dijadikan pokok dan dasar syariat. Berdasarkan ayat-ayat yang demikian itu, diadakan rukhshah, yakni aturan-aturan yang meringankan agar jangan menempatkan orang Islam dalam keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalan Al Qur’an disebutkan :
1). Keringanan berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan :

`yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 4
 “... Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain … (QS. Al Baqarah: 184).

2). Keringanan bertayamum bagi orang yang tidak boleh menggunakan air :
bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ  

 “...dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).

      3). Keringanan membolehkan memakan bangkai atau makanan lainnya apabila dalam keadaan terpaksa :
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
 “Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah: 173).

      b.      Menyedikitkan Beban (Taqlil at Takalif)
            Taklif secara bahasa berarti beban. Arti etimologinya adalah menyedikitkan. Adapun secara istilah, yang dimaksud hukum taklif adalah pesan/khithâb yang mengarah pada instruksi dan atau pilihan terhadap perbuatan orang-orang mukallaf. Hukum ini dinamakan hukum taklifi (hukum yang memaksa), karena hukum-hukum yang termasuk katagori ini adalah hukum-hukum yang terdapat beban berat (masyaqqah), baik pesan instruktif untuk melakukan sesuatu atau untuk meninggalkan sesuatu (الإيجاب و الندب والتحريم والكراهة), maupun pesan bebas-pilihan (التخيير/ الإباحة). Pertanyaanya, kenapa hukum “bebas-pilihan” (الإباحة) juga dimasukkan ke dalam hukum taklifi? Padahal hukum ini tidak mengandung unsur masyaqqah (beban berat)? Menanggapi pertanyaan ini, ulama ushul berpandangan, hal ini dimasukkan karena faktor penyelarasan (min bâbi at-taghlîb) belaka.[3] Contoh hukum taklifi yang pertama (instruksi untuk berbuat; baik îjâb atau nadb), seperti perintah shalat, puasa dan lain-lain:
(أقيموا الصلاة)، و(كتب عليكم الصيام)
Untuk hukum taklifi yang kedua (instruksi untuk meninggalkan), contohnya: larangan membunuh, larangan makan bangkai, darah dan daging babi, dll..
(ولا تقتلوا النفس التى حرم الله إلا بالحق)، و(حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير …)
Sedangkan contoh hukum taklifi yang ketiga (bebas-pilihan): makan.
(يأيها الناس كلوا مما فى الأرض حلالا طيبا …)
Kemudian mari kita lihat QS. Al Ma’idah:101:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n@ bÎ)ur (#qè=t«ó¡n@ $pk÷]tã tûüÏm ãA¨t\ムãb#uäöà)ø9$# yö7è? öNä3s9 $xÿtã ª!$# $pk÷]tã 3 ª!$#ur îqàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇÊÉÊÈ  
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Maidah: 101).

Kandungan ayat tersebut menunjukkan bahwa hal-hal yang tidak disebutkan dalam syari’at Islam tidak perlu dipertikaikan bagaimana ketentuan hukumnya, hal itu merupakan rahmat Allah SWT untuk tidak memperbanyak beban kepada umat manusia.

      c. Berangsur-angsur Dalam Menetapkan Hukum
Pada awal ajaran Islam diturunkan,  Allah SWT belum menetapkan hukum secara tegas dan terperinci, karena bangsa Arab pada waktu itu telah menggunakan adat kebiasaan mereka sebagai peraturan dalam kehidupan.    Pada saat itu adat mereka ada yang baik dan dapat diteruskan, tetapi ada pula yang membahayakan dan tidak layak untuk diteruskan. Oleh karena itu  syari’ah secara berangsur-angsur menetapkan hukum agar tidak mengejutkan bangsa yang baru mengenalnya, sehingga perubahan itu tidak terlalu dirasakan yang akhirnya sampai  pada ketentuan hukum syari’ah yang tegas. Sedangkan istilah tasyri’ tampaknya lebih merupakan bentuk teknis dari proses pembentukan fikih atau perundang-undangan. Secara etimologis, tasyri’ berarti pembuatan undang-undang atau peraturan-peraturan (taqnin). Menurut Abdul Wahab Khalaf, tasyri’ adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka. Menurut batasan ini, tasyri’ merupakan produk ijtihad manusia dalam proses pembentukan perundang-undangan(fiqh).[4]
Tahapan-tahapan dalam menetapkan syari’ah Islam menempuh cara sebagai berikut :
         1). Berdiam diri, yakni tidak menetapkan hukum kepada sesuatu, karena buat sementara masih perlu diperkenankan, yang kemudian akan diharamkan. Cara ini dilakukan antara lain dalam masalah warisan. Islam tidak segera membatalkan hukum warisan jahiliyah, tetapi akhirnya diganti dengan hukum warisan Islam dan sekaligus membatalkan hukum warisan Jahiliyah tersebut.
         2). Mengemukakan permasalahan secara mujmal, yakni dikemukakan secara terperinci. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam hukum peperangan, Firman Allah SWT :
tbÏŒé& tûïÏ%©#Ï9 šcqè=tG»s)ムöNßg¯Rr'Î/ (#qßJÎ=àß 4 ¨bÎ)ur ©!$# 4n?tã óOÏdÎŽóÇtR 퍃Ïs)s9 ÇÌÒÈ
 “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,” (QS. Al Hajj: 39)

         3). Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, sebagaimana ditemui dalam cara mengharamkan khamar (arak). Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang khamar dan maisir (Judi), yang sudah menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat Arab waktu itu. Firman Allah SWT :
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 štRqè=t«ó¡our #sŒ$tB tbqà)ÏÿZムÈ@è% uqøÿyèø9$# 3 šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# öNà6¯=yès9 tbr㍩3xÿtFs? ÇËÊÒÈ  
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (QS. Al Baqarah: 219)

Dengan ayat tersebut, syari’ah belum menetapkan arak dan judi haram, tetapi dengan menyebut dosanya lebih besar, ada kesan melarangnya.
Baru pada tahap berikutnya Allah mengharamkannya dengan perintah untuk meninggalkannya. Firman Allah :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  
 “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90).

      d. Memperhatikan kemaslahatan manusia dalam menetapkan hukum
Mashlahat berasal dari kata ash shulh atau al ishlah yang berarti damai dan tenteram. Damai berorientasi pada fisik sedangkan tenteram berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaksud mashlahat secara terminologi adalah :
جلب النفع و دفع الضرر عنهم   
Perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan[5]
Allah dalam menetapkan hukum selalu mempertimbangkan kemashlahatan hidup umat manusia. Oleh karena itu dalam proses penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga aspek :
        1). Hukum ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum tersebut.
        2). Hukum ditetapkan hanya menurut kadar kebutuhan masyarakat.
        3). Hukum hanya ditetapkan oleh lembaga pemerintah yang berhak menetapkan hukum.
           Dalam menetapkan hukum, Allah SWT senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan mudharat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis dari pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan: “Allah membuat undang-undang syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa ekses negatif (mudharat) dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfaat).[6]
e. Keadilan yang merata
Menurut syariat Islam kedudukan semua orang adalah sama dihadapan Allah, yang membedakan adalah tingkatan taqwa mereka. Oleh karena itu orang yang kaya dengan orang yang miskin sama dihadapan Allah dalam hal pengadilannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al Maidah: 8 :
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ  
 “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maidah: 8)

2. Prinsip-prinsip Dalam Fiqh
Fiqh dibangun atas lima dasar, yaitu:
      1.   الْأُمُور بِمَقَاصِدِهَا  (Segala sesuatu tergantung pada niatnya).
Dasar kaidah:
         وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآَخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا
Artinya: Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.

         إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya: segala perbuatan tergantung pada niat.
Menurut As-Suyuthi, kaidah fiqh ini masuk dalam berbagai persoalan fiqh; baik fiqh ibadah, maupun mu'amalah.
       ·  Contoh dalam fiqh ibadah: Seseorang yang melakukan shalat dua raka'at misalnya, maka perbuatan shalat tersebut tergantung pada niat di dalam hatinya; apakah untuk shalat fardhu; atau sunnah; qashar atau penuh, sunnah tertentu atau sunnah muthlak. Semua tergantung pada niat yang ada di hati pelaku.
       · Contoh dalam persoalan mu'amalah: Seseorang yang mengarnbil barang temuan. Jika ia mengambil dengan niat menyimpannya untuk dicarikan pemiliknya dan dikembalikan kepadanya, maka berlaku `yad al-amanah' atau penguasaan karena kepercayaan. Sehingga, jika terjadi kerusakan pada barang tersebut yang tidak ia sengaja, maka tidak diminta menang­gung kerusakan tersebut. Tetapi jika niat mengambilnya untuk memiliki, maka yang berlaku adalah `yad adh-dhaman' atau penguasaan yang harus ditanggung. Sehingga, ia berkewajiban untuk menanggung segala kerusak­an yang terjadi pada barang yang diambilnya, apapun sebab yang menimbulkan kerusakan tersebut.
  2.الْيَقِين لَا يُزَال بِالشَّكِّ ( Keyakinan tidak bisa dihilangkan sebab keraguan)    
Dasar kaidah ini:
         إن الشيطان ليأتى أحدكم وهو فى صلاته فيأخذ بشعرة من دبره فيمدها فيرى أنه أحدث فلا ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا[7]
Artinya: Sesungguhnya setan akan mendatangi salah satu kalian dalam sholatnya. Kemudian setan mengambil rambut dari duburnya (musholli) dan memanjangkannya, sehingga ia melihat bahwa dirinya berhadats. Maka janganlah berpaling, sampai mendengar suara atau menemukan bau.(al Hadits)

Kaidah ini berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur dengannya, yaitu sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai bentuk kontradiktifnya, akan tetapi ia hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi yang kuat yang menyatakan sebaliknya.[8]
Contoh dalam permasalahan ibadah:
·  Apabila seseorang meyakini dirinya dalam keadaan suci, kemudian muncul keraguan bahwa dirinya berhadats, maka ia dalam keadaan suci.
·  Apabila seseorang ragu dalam sholatnya, apakah mencapai tiga atau empat rakaat, maka tiga rakaat yang dianggap karena lebih diyakini
Contoh dalam permasalahan muamalah:
·  Seorang penjual mobil menyatakan kepada pembeli bahwa mobil yang dijualnya dalam kondisi yang baik, kemudian si pembeli membelinya. Di lain hari pembeli komplain dan menyatakan bahwa terdapat cacat pada mobil tersebut. Maka, ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si penjual.

     3.   الْمَشَقَّة تَجْلِب التَّيْسِير  (Segala kesulitan akan membawa kemudahan).
     Dasar kaidah:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:   بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Artinya: Rasulullah SAW bersabda “Aku diutus dengan membawa agama yang mudah“ [9]
Contoh dalam masalah ibadah:
·  Seseorang yang tidak mampu melaksanakan sholat fardlu dengan berdiri, maka ia diperbolehkan melakukannya dengan duduk. Jika tidak bisa, maka boleh dengan tidur miring dan seterusnya.
·  Jika tidak menemukan air untuk dipakai berwudlu’, atau kesulitan menggunakan air sebab sakit, maka boleh mengganti wudhu dengan tayammum.
Contoh dalam muamalah:
·  Jika seorang perempuan yang tengah melaksanakan perjalanan, dan ia tidak menemukan wali untuk menikahkannya, maka ia boleh menentukan orang laki-laki sebagai walinya.


4.    الضَّرَر يُزَال  ( Kerusakan harus dihilangkan )
Dasar kaidah:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi
قَوْله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ }
Artinya: Tak berbahaya (baginya) dan tidak membahayakan (orang lain)
                           
Contoh dalam ibadah:
·  Ketika seseorang ingin pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat jum’at, sementara di jalan ada perampokan dan dikhawatirkan keselamatannya, maka diperbolehkan baginya untuk sholat di rumah.
Contoh dalam muamalah:
·  Seorang pembeli boleh melaksanakan khiyar sebab ditemukannya cacat pada barang yang dijual
·  Boleh bagi laki-laki maupun perempuan untuk merusak pernikahan(bercerai) sebab adanya cacat

5.      الْعَادَة مُحَكَّمَة  ( Kebiasaan dapat dijadikan hukum )
Dasar kaidah:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya:Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh(Q.S: al A’raf 199)

         لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ }
Artinya: segala hal yang dipandang baik oleh orang muslim, maka disisi Allahpun baik (al Hadits)
Contoh dalam ibadah:
·  Ketentuan minimal dan maksimalnya masa haid, nifas bagi perempuan tergantung pada kebiasaan.
Contoh dalam muamalah:
·   Pembayaran makanan dilakukan setelah selesai makan.
·   Penggunaan ATM dalam bertransaksi.
Lima prinsip diatas merupakan prinsip pokok bagi fiqh baik ibadah maupun mu’amalah. Jika kita ambil garis besar dari prinsip diatas, maka bisa kita fahami bahwa masing-masing fiqh ibadah maupun mu’amalah memiliki prinsip dan karakteristik yang berbeda.






3. Prinsip-Prinsip Dalam Ushul Fiqh
Kaidah pertama

الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
Ijtihad tidak dibatalkan  oleh ijtihad”

Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang kemudian , sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu, namun untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hukum hasil ijtihad yang baru.[10] Yang demikian ini adalah karena :
        1. Nilai ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kuat dari hasil ijtihad pertama.
        2. Apabila suatu ketetapan hukum hasil ijihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Dan tidak adanya kepastian hukum ini akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan besar.
Berdasarkan kaidah ini, maka apabila suatu pengadilan telah memutuskan hukum  terhadap suatu peristiwa, kemudian pada kesempatan lain ada peristiwa yang sama, pengadilan tersebut memutuskan hukum yang lain, maka hasil keputusan yang baru tidak merubah keputusan terdahulu, tetapi hanya berlaku pada peristiwa yang baru.
Contoh :
            Seorang hakim berdasarkan ijtihad telah mengambil keputusan dengan menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun. Tetapi pada kesempatan yang lain dalam peristiwa yang sama dia mengambil keputusan dengan menjatuhkan hukuman kurang dari 10 tahun. Maka dalam hal ini keputusan yang baru tidak merusak keputusan ynag terdahulu, artinya pelaku yang pertama tetap dihukum 10 tahun,  dan pelaku yang kedua tetap dihukum kurang dari 10 tahun. Contoh lain :
1. Seseorang shalat dengan menghadap suatu arah yang dianggap kiblat, kemudian ketika masuk waktu shalat berikutnya berubah anggapannya tentang kiblat, maka dia harus menghadap arah yang dianggapnya kiblat dan tidak wajib mengqadha shalatnya yang pertama.
2.  Seseorang yang ijtihadnya telah menentukan sucinya salah satu dari bejana kemudian mengunakannya dan meninggalkannya, kemudian berubah anggapannya, maka tidak boleh melakukan seperti anggapan yang kedua, tetapi harus tayamum.



Kaidah Kedua

اِذَااجْتَمَعَ االْحَلَا لُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَا مُ
“Apabila berkumpul antara yang halal dan yang haram, dimenangkan yang haram”.
Segolongan ulama mendasarkan kaidah ini pada suatu hadist :
مَاااجْتَمَعَ عَلَيْهِ الْحَلَا لُ وَالْحَرَامُ اِلَّاغَلَبَ الْحَرَامُ قَالَ الحَافِظُ اَبُوْالْفَضْلِ الِعرَاقِى : لَااَصْلَ لَهُ
“Manakala berkumpul yang halal dengn haram, maka dimenangkan yang haram”.
            Walaupun hadis diatas ini sanadnya dhaif, tetapi kaidahnya sendiri adalah benar sesuai perintah agama, yaitu untuk selalu berhati-hati, yakni upaya preventif sebelum terjadi pelanggaran yang lebih berat.[11]
            Demikian pula apabila dua dalil bertentangan yang satu mengharamkan, dan yang lain menghalalkan, maka di dahulukan yang mengharamkan.
Contoh : ketika sahabat Utsman bin Affan RA ditanya tentang hukumnya mengumpulkan dua orang wanita bersaudara, yang satu merdeka, yang satu budak, yang keadaanya menurut ayat An-Nisa :
وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَىْنَ الْاُ خْتَىَىْنِ
Dan haram mengumpulkan (dalam perkawinan) dan dua orang wanita bersaudara.”
Pertentangan antara dua hadis, yaitu :
لَكَ مِنَ الْحَائِضِ مَا فَوْقَ الْاِ زَارِ
bagimu boleh berbuat sesuatu terhadap istrimu yang sedang haid pada segala yang berada di atas kain pinggang”.
Dengan Hadis:
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَىْءٍ اِلاَّ االنِّكَاحِ
perbuatlah segala sesuatu (terhadap istri yang sedang haid) kecuali persetubuhan”.
            Hadits yang pertama menunjuk kepada hukum haram istri yang sedang haid berbuat sesuatu antara pusar dan lutut.
            Sedangkan hadits yang kedua membolehkan berbuat segala sesuatu terhadap istri yang sedang haid, kecuali bersetubuh.
اِذَاتَعَا رَضَ اْمَا نِعُ وَالْمقَتَضِىْ قُدِّ مَ الْمَا نِعُ
“Apabla berlawanan antara yang mencegah dan yang mengharuskan, didahulukan yang mencegah”. 
Contoh : Orang yang junub kemudian mati syahid, maka yang lebih sah ia tidak dimandikan. Bahkan apabila waktunya sempit atau airnya kurang untuk kesempurnaan mandi, haram memandikannya.


Kaidah ketiga

الْإِىْثَارُبِالْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَهٌوفِى غَيْرِهَامَحْبُوْبٌ
“Mengutamakan orang lain dalam uruan ibadah adalah makruh, dan dalam urusan selain ibadah adalah disenangi.”
Asal dari kaidah ini adalah firman Allah :
فَا سْتَبِقُ الْخَيْرَاتِ.
berlomba-lombalah kamu sekalian didalam kebajikan.”

Kaidah keempat

اَلتَّابِعُ تَابِعٌ
“Pengikut tu adalah mengikuti”
Artinya : Sesuatu yang mengikuti kepada yang lain maka hukumnya adalah hukum yang diikuti.
Yang termasuk dalam kaidah ini adalah:
اَتَّابِعُ لَايَفْرِدُبِالْحُكْمِ
Pengikutnya hukumnya tidak tersendiri”
Hal ini karena hukum yang ada pada “yang diikuti” berlaku juga untuk yang mengikuti.
Contoh: Jual beli binatang yang sedang bunting, anak yang ada didalam kandungannya termasuk ke dalam akad itu.
اَتَّابِعُ سَاقِطٌ بِسُقُوْطِ الْمَتْبُوْعِ
pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
            Apabila hukum yang diikuti gugur, maka gugur pula hukum yang mengikuti.
Contoh: Orang gila tidak berkewajiban shalat fardhu, karena itu tidak disunnahkan shalat sunnah rawatib, kewajiban shalat fardhu telah gugur, dengan sendirinya shalat sunnah menjadi gugur pula.
Dekat dengan kaidah diatas adalah :
اَلفَرْعُ يَسْقُطُ اِذَاسَقَطَ الْاَصْلُ
“cabang menjadi jatuh apabila pokoknya jatuh”
Contoh : Apabila anak yang pandai dan baik itu bebas (dari kesalahan), bebas pula penanggungannya; dan apabila dia jatuh (dinyatakan bersalah), salah pula penanggungnya, sebab penanggung adalah cabang dari yang ditanggung.
اَتَّابِعُ لاَيَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوْعِ
pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”.
Jadi yang diikuti harus lebih dahulu dari yang mengikuti.
Contoh: makmum tidak boleh mendahului iman, baik tempat berdirinya maupun gerakannya.
يُغْتَفَرُفِى التَّوَابِعِ مَالَايُغْتَفَرُفِى غَيْرِهَا
dapat dimaafkan dari hal-hal yang mengikuti, tidak dimaafkan pada yang lainnya”.
            Dengan kaidah yang di atas;
يُغْتَفَرُفِى شَيْءٍضِمْنًامَالَايُغْتَفَرُفى غَيْرِهَا
“sesuatu itu dapat dimaafkan karena terkait yang lain, tidak dapat dimaafkan karena sengaja”.
Kadang-kadang dikatakan;
يُغْتَفَرُفِى الثَّوَانِى مَالَايَغْتَفِرُفِى الْاَوَائِلِ
“dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak demikian bagi yang lain.
Contoh: Orang yang sedang ihram tidak sah nikah, tetapi sah rujuknya, karena adanya rujuk setelah adanya nikah.
Kaidah kelima

تَصَرَّفُ الاِمَامِ عَلى الرَّعِيَّةِ منُوْطٌ بِالمَصْلَحَةِ
“Tindakan imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan”.
            Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin/penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan umat.[12]
Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Syafi’i :
مَنْزِلَةِ الْاِمَامِ مِنَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.

Kaidah keenam

اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
“Hukuman-hukuman itu gugur karena syubhat”
            Suatu kasus yang belum bisa dibuktikan secara faktual sebagai suatu tindak pelanggaran, tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk memvonis pelaku tindak kriminalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan bukti-bukti obyektif meyakinkan.
            Kaidah ini berasal dari sabda Nabi :
اٍدْرَاؤُاالْحُدُوْدِبِالشُّبُهَاتِ
hindarkanlah hukuman-hukuman karena adanya syubhat”.
contoh: mengambil kendaraan ditempat perparkiran, karena cat dan merk sama, ternyata bukan.
اَلْكَفَّارَةُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
kewajiban membayar kafarat gugur karena adanya syubhat”.
Contoh : orang melakukan persetubuhan di bulan Ramadlan karena lupa, tidak wajib membayar kafarat.
Kaidah ketujuh

الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَحَرِيْمٌ لَهُ
yang mengelilngi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilingi”.
Dasar dari kaidah ini ialah hadis Nabi :
اَلْحَلَالُ بَيّنٌ وَالْحَرَامُ بَيْنَ وَبَيْنَهُمَااُمُوْرٌمُشْتَبِهَاتٌلاَيَعْلَمَهُنَّ كَثِيْرٌمِنَ النَّاسِ.فَمَنِ اتَّقَي الشُّبُهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَءَلِدِيْنِهِ
وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَارَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يَوْشِكُ يَرْتَعَ فِيْهِ.
Yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan diantara keduanya ada masalah-masalah mutsyabihat( yang tidak jelas hukumnya), yang kebanyakan orang tidak mengetahui hukumnya. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari syubhat, berarti ia halal membersihkan agama dan dirinya;dan barang siapa yang jatuh kepada keharaman, seperti seorang penggembala yang mengembala disekitar pagar dan larangan, dikhawatirkan akan melanggar (masuk) ke dalam pagar”.(al Hadits)

Kaidah Kedelapan

اِذَاجْتَمَعَ اَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ لَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْدُهُمَادَخَلَ فِى الْاخِرِغَا لِبًا
Apabila berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda maksud dari keduanya, maka menurut biasanya yang satu masuk kepada yang lain”.
Contoh : Apabila orang hadas kecil dan hadas besar (junub), maka cukup dengan bersuci saja, seperti kalau orang junub maka mandi.
Kaidah Kesembilan

اَلْخُرُوْجَ مِنَ الخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّ
keluar dari khilaf itu diutamakan”.
            Maksud dari kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dasar kaidah ini ialah sabda Nabi SAW :
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَأَلِدِيْنِهِ
            “Maka barang siapa yang menjaga diri dari syubhat (tidak jelas hukumnya), maka ia mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.
            Maksud kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
           
Kaidah Kesepuluh

الر ضا با لشئ رضا بما يتولد منه
“Rela terhadap sesuatu adalah (juga) rela terhadap apa yang timbul dari sesuatu itu”
Searti dengan kaidah ini ialah kaidah:
المتولد من ما ذ ون فيه لا اثرله

“Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan (diterima) tidak ada pengaruh baginya”.
            Artinya apabila seseorang telah rela dan menerima sesuatu, maka ia harus menerima segala rentetan persoalan akibat dari sesuatu yang telah diterima. Yang berarti menerima segala resiko akibat penerimaannya.
Contoh:Orang membeli barang yang sudah cacat, dia harus rela terhadap semua keadaan akibat dari cacat itu. Misalnya: cacatnya berkembang lebih besar. Demikian pula membeli binatang yang sakit, dia harus menerima semua yang terjadi akibat dari sakitnya binatang tersebut.

Kaidah Kesebelas

ما كا ن اكثر فعلا كا ن اكثر فضلا
“Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih banyak keutamaannya”.
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Nabi SAW kepada Aisyah RA:
اجرك على قد ر نصبك (رواه مسلم)
“Pahalamu adalah Berdasarkan kadar usahamu”.
Sesuai dengan hadits yang menjadi dasar kaidah, maka dengan sendirinya yang dimaksud oleh kaidah ialah perbuatan kebaikan, sehingga makin banyak dipebuat, makin tambah keutamaannya.
Contoh: Shalat witir dengan cara diputus lebih utama dibanding dengan secara disambung, sebab dengan diputus akan tambah niat, takbir dan salam.
Merupakan pengecualian dari kaidah ini ialah beberapa perbuatan, diantaranya ialah:
Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi syarat-syaratnya, lebih baik dari pada shalat dengan tidak qashar.



Kaidah Kedua Belas

الفر ض افضل من النفل
                                      “Fardhu itu lebih utama daripada sunnat”
Dasar  dari kaidah ini ialah Sabda Rasulullah SAW dalam salah satu hadits beliau:
من تقر ب فيه بخصلة من خصا ل الخير كا ن كمن اد ى فريضة فيما سواه ومن ادى فريضة فيه كا ن كمن ادى سبعين فريضة فيما سواه
“Barangsiapa mendekatkan diri (ibadah) kepada Allah dalam bulan Ramadhan dengan salah satu perbuatan kebaikan (ibadah sunnah), maka dia sepertulan  menunaikan ibadah fardhu diluar bulan Ramadhan, dan barangsiapa melakukan satu ibadah fardhu dalam bulan Ramadhan, maka dia seperti menunaikan 70 ibadah fardhu diselain bulan Ramadhan.”(al Hadits)

Dalam Hadits ini Nabi telah memperbandingkan antara sunnah dalam bulan Ramadhan dengan 70 fardlu di luar Ramadhan, semua ini memberi pengertian bahwa fardhu itu lebih utama daripada sunnat dengan 70 derajat/tingkat.[13]
Kaidah Ketiga belas

الواجب لا يتر ك الا لوا جب
“Sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan kecuali karena sesuatu yang wajib”
Jadi dari kaidah ini dapat ditegaskan, bahwa sesuatu yang telah diwajibkan, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban yang mengharuskan untuk meninggalkan.
               Contoh: Memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram, sebab memotong/melukai adalah tindak pidana haram.
Kaidah Keempat Belas

ما ثبث با لشرع مقد م على ما وجب با لشرط
          “Apa yang telah tetap menurut syara’, didahulukan daripada apa yang wajib menurut syarat”.
Ketetapan yang berasal dari syara’ harus didahulukan pengamalannya daripada ketetapan yang timbul dari syarat-syarat yang dibuat oleh manusia, sehingga karenanya tidak boleh bernadzar dengan sesuatu yang wajib, seperti nadzar berpuasa Ramadhan, atau nadzar shalat fardlu dan sebagainya.
Demikian pula apabila seorang suami berkata pada istrinya: “Saya thalak kamu dan kepadamu akan saya beri uang Rp. 10.000,- asal saya masih ada hak untuk rujuk kepadamu”.
Perkataan memberi uang Rp. 10.000,- sebagai syarat untuk rujuk adalah gugur, sebab pada hakikatnya syara’ telah menetapkan akan haknya, yaitu rujuk.
Kaidah Kelima Belas

ما حرم استعما له حرم ا تخا ذ ه
“Apa yang haram menggunakannya, haram pula memperolehnya”
Dasar kaidah ini ialah Sabda Nabi saw.
ومنوقع فى الشبها توقع فى الحرام . كا لرا عى يرعى حول الحما يوشك ان ير تع فيه (متفق عليه)
“Barangsiapa jauh pada barang syubhat, jauh pada haram, seperti pengembala yang mengembalakan disekitar larangan dikhawatirkan akan masuk pada larangan”
Maka oleh karena itu orang diharamkan menyimpan alat/sarana kemaksiatan. Menyimpan wadah/bejana terbuat dari bahan emas atau perak. Sutra dan emas bagi laki-laki. Sebab larangan menyimpan barang-barang tersebut karena boleh jadi akan menggunakannya. Demikian juga dilarang memelihara anjing, selain anjing untuk menjaga keamanan dan berburu.

Kaidah Keenam Belas

ما حرم اخذ ه حرم اعطا ؤه
“Sesuatu  yang haram diambilnya, diharamkan pula memberikannya”
Dasar kaidah ini adalah Firman Allah:
ولا تعا ونوا على الا ثم والعد وان . (الما ئدة:3)
jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”(Q.S.al Maidah:3)
            Jadi artinya apabila dibolehkan memberikannya, maka berarti menolong dan mendorong untuk mengambilnya, sehingga keduanya menjadi berserikat dalam dosa. Untuk itu apabila diharamkan mengambilnya,  maka untuk memberikannya juga diharamkan.
            Berdasarkan kaidah ini maka diharamkan memberi uang riba suap, upah pelacur, pemberian pada kahin dan sebagainya, sebagaimana diharamkan untuk mengambilnya.

Kaidah Ketujuh Belas

المشغول لا يشغل
“Sesuatu yang sedang dijadikan obyek perbuatan tertentu, tidak boleh obyek perbuatan tertentu yang lain”.
Artinya apabila ada sesuatu yang sudah menjadi obyek sesuatu aqad, tidak boleh dijadikan obyek aqad lain, karena itu telah terikat dengan aqad yang pertama.
               Contoh: Tidak boleh barang yang sudah dijadikan jaminan sesuatu hutang, kemudian dijadikan jaminan hutang yang lain.[14]

Kaidah Kedelapan Belas

من استعجل شيئا قبل اوانه عوقب بحر ما نه
“Barangsiapa yang berusaha menyegerakan sesuatu yang sebelum waktunya, menanggung akibat tidak mendapat sesuatu itu”.
            Kaidah ini lebih bersifat sebagai peringatan agar orang tidak tergesa-gesa melakukan sesuatu perbuatan  atau suatu tindakan dalam rangka untuk mendapatkan haknya sebelum waktunya. Sebab akibatnya dapat merupakan kegagalan.

Kaidah Kesembilan Belas

النفل اوسع من الفرض
“Sunnah itu telah longgar dari pada fardlu”
            Suatu perbuatan yang disyariatkan sebagai perbuatan sunnah, pelaksanaannya lebih longgar daripada perbuatan yang disyari’atkan sebagai perbuatan yang wajib.

Kaidah Kedua puluh

الو لا ية الخا صة اقوى من الولا يةالعا مة
“Kekuasaan  yang khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang umum”
Suatu benda atau persoalan yang berada dibawah suatu kekuasaan, maka pemegang kekuasaan yang khusus terhadap benda dan persoalan tersebut, kedudukan dan wewenangnya lebih kuat daripada penguasa umum, sehingga penguasa umum tidak dapat bertindak langsung terhadap benda atau persoalan yang ada penguasa khususnya, selama penguasa khususnya ada dan masih berfungsi.

Kaidah Kedua Puluh Satu

لاعبرة باالظن البين خطؤه
“Tidak dipegangi sesuatu (hukum) yang berdasarkan pada yang jelas salahnya”
            Arti zhon ialah persangkaan yang kuat, atau suatu pendapat yang lebih cenderung kepada tetapnya atau benarnya daripada tidaknya.Jadi maksud kaidah ini ialah bahwa suatu keputusan hukum yang didasarkan pada zhon, tetapi kemudian jelas salahnya, maka hukum tersebut tidak berlaku atau batal.
Kaidah Kedua Puluh Dua

الميسور لايسقط بالمعسور
“Yang mudah dilaksanakan, tidak gugur/ditinggalkan karena adanya yang sukar dilaksanakan”
            Dasar kaidah ini ialah sabda Nabi saw:
اذا امرتتكم بامر فأ توامنه ماستطعتم
“Apabila aku memerintahkan sesuatu, maka kerjakanlah semampumu”
            Setiap amalan dalam syara’ harus dilaksanakan menurut daya kemampuan si mukallaf.
            Berdasarkan kaidah ini, ulama Syafi’iyyah menolak pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa orang yang tidak dapat menutupi auratnya, shalatnya harus dengan duduk, artinya karena tidak dapat menutup aurat, maka gugurlah kewajiban shalat dengan berdiri.

Kaidah Kedua Puluh Tiga

ما لا يدرك كله لا يترك كله
“Sesuatu yang tidak dicapai seluruhnya tidak boleh ditinggalkan seluruhnya”

Misalnya :
1.      Orang yang tak sanggup mengajar dan belajar seluruh ilmu, tidak pantas meninggalkan seluruhnya
2.      Orang yang tidak mampu berbuat kebaikan yang banyak sedikit pun jadilah
3.      Jika tak sanggup shalat malam 10 raka’at, 4 raka’at pun cukup. Jadi, tidak layak ditinggalkan seluruhnya

Kaidah Kedua Puluh Empat

ما اوجب اعظم الامرين بخصوصه لا يوجب اهونها بعمومه
“Sesuatu yang mewajibkan kepada yang lebih besar diantara dua hal secara khusus tidak mewajibkan kepada yang lebih kecil diantara keduanya secara umum”

Menurut kaidah ini jika suatu perbuatan secara khusus dikenakan tuntutan lebih berat dan secara umum juga dikenakan tuntutan yang lebih ringan, maka jika tuntutan yang lebih berat sudah dilaksanakan tuntutan yang ringan tidak perlu dijalankan lagi.
Misalnya :
1.      Seseorang mencuri harta milik orang lain dengan membongkar pintu. Secara umum merusak pintu milik orang lain itu harus menggantinya dan secara khusus mencuri itu dikenakan hukuman had potong tangan. Tetapi karena dijalankan hukuman yang lebih berat diantara dua macam dua hukuman tersebut, yakni potong tangan maka hukuman dengan mengganti kerugian tersebut tidak perlu dijalankan
2.      Seorang laki-laki melakukan tindak asusila perzinaan tidak perlu lagi dijatuhi hukuman ta’zir (pengasingan), yang hukuman ini diancamkan kepada orang yang bercumbu-cumbuan, biarpun melakukan zina tersebut secara umum diawali dengan perbuatan itu. Tetapi ia cukup dijatuhi hukuman had, yang hukuman ini khusus bagi orang yang melakukan perzinaan dan merupakan hukuman yang terberat dari dua macam hukuman tersebut

 Kaidah Kedua Puluh Lima

الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما
Hukum itu berputar bersama illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum
Misalnya :
1.      Memasuki rumah atau memakai pakaian milik orang lain tanpa izin yang memilikinya dilarang (haram), karena tidak ada kerelaan dari pemiliknya. Tetapi kalau pemiliknya mengetahui dan terus memberi kerelaannya maka hal itu diperbolehkannya
2.      Keharaman khamar itu lantaran terdapat zat yang memabukkan. Tetapi kalau zat yang memabukkan itu sudah hilang dengan sendirinya (misalnya khamar itu sudah berubah menjadi (cuka) maka dihalalkannya

Para Ushuliyun membedakan pengertian hikmah dengan illat. Hikmah ialah sesuatu yang masih berupa perkiraan dan belum positif. Karena sifatnya demikian maka hikmah tidak dapat untuk membina hukum dan mengikat kepada wujud dan tiadanya hukum. Sedangkan illat ialah sesuatu yang sudah jelas dan positif yang dapat dipergunakan membina hukum dan mengikat kepada wujud dan tiadanya hukum.
Misalnya :
1.      Mengqashar shalat bagi orang yang dalam keadaan bepergian hikmahnya ialah memberi keringanan dan menolak kesulitan. Hikmah semacam ini masih merupakan perkiraaan yang belum positif, karena dapat diterapkan pada setiap orang yang berbeda situasi dan kondisinya. Ada sebagian orang yang menganggap bahwa shalat dengan sempurna di dalam perjalanan itu tidak menyulitkan menurut situasi dan kondisi tertentu dan menurut situasi dan kondisi yang lain akan terasa berat sekali. Sedang illat hukumnya adalah bepergian. Ini merupakan perkara yang sudah jelas dan positif.
2.      Hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan) bagi anggota serikat atau tetangga hikmahnya ialah untuk menolak gangguan (kemudharatan) bagi anggota serikat atau tetangga itu. Sebab tidak mustahil sekiranya mereka tidak diutamakan hak belinya maka pekarangan yang dijual tersebut dibeli oleh orang asing baginya, sehingga ketenangan terganggu. Sedang ‘illat syuf’ah ialah karena keanggotaan serikat atau pertetanggaannya.

Dengan adanya perbedaan yang jelas antara hikmah dan ‘illat para Ushuliyun melengkapkan kaidah tersebut diatas dengan :

ان الاحكام الشرعية تد ور وجودا و عدما مع عللها لا مع حكمها
“Bahwa hukum-hukum syari’at itu berputar antara ada dan ketiadaannya bersama dengan ‘illatnya bukan bersama dengan hikmahnya”
Misal :
1.    Barang siapa yang dalam bulan Ramadhan berpergian dibolehkan tidak berpuasa, karena ‘illat dibolehkannya adalah berpergian. Biarpun didalam berpergian itu ia tidak mengalami
             kesulitan sedikitpun jika seandainya berpuasa. Tetapi jika illatnya yang dijadikan membina hukum maka ia tidak boleh meninggalkan puasa kalau tidak ada kesulitan sama sekali

2.    Seseorang yang menjadi anggota serikat dengan orang lain atas tanah pekarangan atau menjadi tetangganya mempunyai hak syuf’ah karena illatnya adalah keanggotaan serikat atau pertetanggaannya. Meskipun ia tidak khawatir sedikitpun akan adanya gangguan ketenangan dari pembeli yang masih asing baginya. Akan tetapi, kalau hikmahnya yang dijadikan membina hukum dan meniadakan hukum, niscaya dengan tiadanya kekhawatiran akan gangguan ketenangan seorang anggota serikat atau tetangga tidak mempunyai hak syuf’ah








DAFTAR PUSTAKA

Khalaf, Abdul Wahab, Searah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2002)

Khalil, Rasyad Hasan, Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009)
Mubarok, Dr. Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000)

Suyuthi as, Al-Imam Jalaluddin Bin Abi Bakar, al- Asybah Wan Nazhair fi Qawaid wa Furu’ Fiqh al Syafi’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979)

---------------------------------------------------------, Al-Jami’ Al-Shoghir Fi Akhaditsi Al-Basyir Al-Nadzir, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010)

Syatibi asy, Abu Ishaq, Al-Muwafaqat, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1997), Jilid 2

Thariqy ath, Abdullah bin Muhammad, Fiqih Darurat, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001)
Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009)

Yahya, Prof. Dr. Mukhtar dan Prof. Drs. Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT al Ma’arif, 1986)

Zuhaili az, Wahbah, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Libanon: Dar Al-Fikr, 2004), Jilid I





[1] Rasyad Hasan Khalil, Sejarah Legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) hal. 22
[2] Dr. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 7
[3] Wahbah az Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Libanon: Dar Al-Fikr, 2004), Jilid I, hal. 40

[4] Abdul Wahab Khalaf, Searah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 1
[5] Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1997), Jilid 2, hal. 2
[6] Abdullah bin Muhammad Ath-Thariqy, Fiqih Darurat, (Jakarta: Pustaka Azzam,2001) Hal. 157
[7] Al-Imam Jalaluddin Bin Abi Bakar As-Suyuthi, Al-Jami’ Al-Shoghir Fi Akhaditsi Al-Basyir Al-Nadzir, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010). Hal. 345
[8] Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009) hal. 15
[9] Al-Imam Jalaluddin Bin Abi Bakar As-Suyuthi, al- Asybah Wan Nazhair fi Qawaid wa Furu’ Fiqh al Syafi’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979), hal. 8

[10] Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT Al      Ma’arif, 1986), hal. 522
[11] Ibid
[12] Ibid. hal. 527
[13] Ibid. hal. 538
[14] Ibid. hal. 548

2 comments :

  1. PERMAINAN ONLINE TERBESAR DI INDONESIA

    Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia ^^
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat :)
    Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino

    - Adu Q
    - Bandar Q
    - Bandar Sakong
    - Bandar Poker
    - Poker
    - Domino 99
    - Capsa Susun
    - BANDAR66 / ADU BALAK ( GAME TERBARU )

    Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang asli ^^
    * Minimal Deposit : 20.000
    * Minimal Withdraw : 20.000
    * Deposit dan Withdraw 24 jam Non stop ( Kecuali Bank offline / gangguan )
    * Bonus REFFERAL 15 % Seumur hidup tanpa syarat
    * Bonus ROLLINGAN 0.3 % Dibagikan 5 hari 1 kali
    * Proses Deposit & Withdraw PALING CEPAT
    * Sistem keamanan Terbaru & Terjamin
    * Poker Online Terpercaya
    * Live chat yang Responsive
    * Support lebih banyak bank LOKAL


    Contact Us

    Website SahabatQQ
    WA 1 : +85515769793
    WA 2 : +855972076840
    LINE : SAHABATQQ
    FACEBOOK : SahabatQQ Reborn
    TWITTER : SahabatQQ
    YM : cs2_sahabatqq@yahoo.com
    Kami Siap Melayani anda 24 jam Nonstop

    Daftar SahabatQQ
    #sahabatQQ #winsahabatQQ #winsahabat #88sahabatQQ #88sahabat #windaftar

    ReplyDelete
  2. Did you hear there is a 12 word phrase you can communicate to your crush... that will induce intense emotions of love and instinctual attraction to you deep inside his chest?

    Because deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's instinct to love, please and protect you with all his heart...

    12 Words Will Trigger A Man's Love Response

    This instinct is so hardwired into a man's genetics that it will drive him to work better than ever before to love and admire you.

    Matter of fact, triggering this powerful instinct is absolutely essential to getting the best possible relationship with your man that once you send your man one of the "Secret Signals"...

    ...You'll immediately find him expose his heart and mind to you in such a way he haven't expressed before and he will see you as the only woman in the world who has ever truly fascinated him.

    ReplyDelete